Zona Malam -BERBAGAI media massa belakangan ini secara vulgar menuliskan kata "kondom" di halaman mukanya. Ya, alat kontrasepsi itu memang tengah menjadi perbincangan hangat publik, menyusul sosialisasi yang dilakukan oleh Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi.
Di awal kepemimpinannya, Menkes berupaya mencegah dan mengendalikan penyebaran virus HIV/AIDS. Caranya dengan mensosialisasikan penggunaan kondom untuk kelompok seks berisiko (pekerja seks komersial/PSK). Namun program tersebut menimbulkan polemik. Maksud Nafsiah Mboi ini diterjemahkan secara luas.
Kondisi serupa juga pernah terjadi di Inggris. Pada tahun 2009, Menteri Kesehatan Negara Monarki Dawn Primarolo, menyosialisasikan penggunaan kondom, yang menyasar pada wanita berusia 20-an agar membawa kondom. Program tersebut berusaha menancapkan stigma bahwa kondom membuat perempuan terlihat lebih seksi. Bahkan, wanita diminta untuk merayu pria untuk mau memakai kondom. Ini semua dilakukan demi mencegah penularan virus HIV/AIDS.
Lain di Inggris lain pula di Indonesia. Bila di Inggris sudah awam dengan kehidupan budaya barat, di Indonesia masih mengacu kepada budaya timur di mana perilaku seks pranikah masih tabu.
Namun, kita tidak bisa menutup mata, bahwa tingkat perilaku seks di kalangan remaja secara diam-diam terus meningkat. Berdasarkan data BKKBN, sebanyak dua juta remaja melakukan aborsi. Artinya, generasi muda telah melakukan hubungan seks berisiko.
Gara-gara kondom ini berbagai kalangan pun angkat bicara, seperti legislator dan berbagai lembaga agama. Berbagai multiintepretasi mengenai program kondom ini pun merebak. Ada yang mempermasalahkan cara sosialisasi yang dinilai vulgar, ada juga yang mempermasalahkan bagi-bagi kondom secara gratis.
Yang menarik adalah pandangan yang menyoroti persoalan sosialisasi kondom justru menginspirasikan kalangan remaja untuk berperilaku seks bebas secara aman.
Wajar saja, program kondom ini dikhawatirkan salah sasaran ke remaja. Sebab berbagai instrumen yang mendukung terjadinya seks berisiko bagi remaja, dapat ditemukan dengan mudah. Seperti toko obat dan alat seks, yang menjamur di pinggir jalan. Video porno pun mudah diakses.
Pada kelompok remaja, penanganannya harus berbeda dengan kelompok seks berisiko pada kelompok PSK. Tentunya bukan dengan sosialisasi penggunaan kondom, namun lebih tepat dengan pendekatan pendidikan yang persuasif dan efektif serta yang terpenting adalah penanaman nilai agama.
Pada dasarnya semua juga sepaham bahwa perilaku seks bebas adalah hal yang dilarang. Dari sisi medis, seks bebas dapat menularkan penyakit mematikan. Apalagi dari perspektif ideoligi, semua agama pun melarang perilaku zina.
Alangkah bijaknya jika kita menyadari bahwa pengendalian seks bebas dimulai dari diri sendiri. Perlaku seks dengan aman juga bukan sekadar menggunakan kondom, namun lebih kepada akidah dan moral.
sumber : Baca juga - klik di sini Pics Hot Di awal kepemimpinannya, Menkes berupaya mencegah dan mengendalikan penyebaran virus HIV/AIDS. Caranya dengan mensosialisasikan penggunaan kondom untuk kelompok seks berisiko (pekerja seks komersial/PSK). Namun program tersebut menimbulkan polemik. Maksud Nafsiah Mboi ini diterjemahkan secara luas.
Kondisi serupa juga pernah terjadi di Inggris. Pada tahun 2009, Menteri Kesehatan Negara Monarki Dawn Primarolo, menyosialisasikan penggunaan kondom, yang menyasar pada wanita berusia 20-an agar membawa kondom. Program tersebut berusaha menancapkan stigma bahwa kondom membuat perempuan terlihat lebih seksi. Bahkan, wanita diminta untuk merayu pria untuk mau memakai kondom. Ini semua dilakukan demi mencegah penularan virus HIV/AIDS.
Lain di Inggris lain pula di Indonesia. Bila di Inggris sudah awam dengan kehidupan budaya barat, di Indonesia masih mengacu kepada budaya timur di mana perilaku seks pranikah masih tabu.
Namun, kita tidak bisa menutup mata, bahwa tingkat perilaku seks di kalangan remaja secara diam-diam terus meningkat. Berdasarkan data BKKBN, sebanyak dua juta remaja melakukan aborsi. Artinya, generasi muda telah melakukan hubungan seks berisiko.
Gara-gara kondom ini berbagai kalangan pun angkat bicara, seperti legislator dan berbagai lembaga agama. Berbagai multiintepretasi mengenai program kondom ini pun merebak. Ada yang mempermasalahkan cara sosialisasi yang dinilai vulgar, ada juga yang mempermasalahkan bagi-bagi kondom secara gratis.
Yang menarik adalah pandangan yang menyoroti persoalan sosialisasi kondom justru menginspirasikan kalangan remaja untuk berperilaku seks bebas secara aman.
Wajar saja, program kondom ini dikhawatirkan salah sasaran ke remaja. Sebab berbagai instrumen yang mendukung terjadinya seks berisiko bagi remaja, dapat ditemukan dengan mudah. Seperti toko obat dan alat seks, yang menjamur di pinggir jalan. Video porno pun mudah diakses.
Pada kelompok remaja, penanganannya harus berbeda dengan kelompok seks berisiko pada kelompok PSK. Tentunya bukan dengan sosialisasi penggunaan kondom, namun lebih tepat dengan pendekatan pendidikan yang persuasif dan efektif serta yang terpenting adalah penanaman nilai agama.
Pada dasarnya semua juga sepaham bahwa perilaku seks bebas adalah hal yang dilarang. Dari sisi medis, seks bebas dapat menularkan penyakit mematikan. Apalagi dari perspektif ideoligi, semua agama pun melarang perilaku zina.
Alangkah bijaknya jika kita menyadari bahwa pengendalian seks bebas dimulai dari diri sendiri. Perlaku seks dengan aman juga bukan sekadar menggunakan kondom, namun lebih kepada akidah dan moral.