Senin, 10 September 2012

Parade Wanita Telanjang Dada Dukung Keperawanan

Di masa lalu, raja menggunakan acara ini untuk memilih istri baru, dan beberapa gadis masih berharap dapat tertangkap mata raja. Ribuan perempuan muda Swazi bertelanjang dada berparade di depan raja mereka untuk merayakan kesucian dan keutuhan, mengabaikan kritik terhadap upacara mewah di salah satu negara paling miskin dan monarki mutlak yang terakhir di Afrika itu.

Dibalut rok mini bermanik-manik, dengan tangan mencengkeram parang di satu sisi dan ponsel di sisi lain, para perempuan (ada yang baru berusia 5 tahun) itu menari dan menyanyikan puja-puji pada ratu dan ibu suri (lebih dikenal dengan julukannya, Yang Mulia Gajah Betina), dalam gaya tarian tradisional setempat bernama Umhlanga Reed.

Parade Wanita Telanjang Dada Dukung Keperawanan

Tari itu untuk merayakan keperempuanan dan keperawanan.

"Saya bangga menjadi orang Swazi dan (masih) perawan. Kami di sini untuk menunjukkan kesatuan dengan raja dan dengan satu sama lain," kata Gcebine Dlamini, 18 tahun, sambil menutupkan renda-renda tali berwarna kuning cerah ke dadanya, ketika para wisatawan mengambil foto perempuan yang ada di sampingnya.

Raja Mswati III, yang memiliki setidaknya selusin istri dan kekayaan pribadi diperkirakan mencapai $200 juta, menghadapi protes yang pernah terjadi sebelumnya tahun lalu, ketika pemerintahan yang dibentuknya kehabisan uang setelah resesi 2009 di negara yang bertetangga dengan Afrika Selatan itu.

Meskipun masa sulit, rumah tangga kerajaan tidak menunjukkan tanda-tanda ingin mengencangkan ikat pinggang.

Pada Juli lalu, South Africa's Mail dan surat kabar Guardian melaporkan bahwa tiga dari istri Mswati bergabung dengan rombongan 66 orang dekat sang raja untuk pesta belanja Las Vegas, Amerika Serikat.

Tidak ada komentar dari istana.

Tapi para perempuan yang berkumpul di acara tahunan, dengan sepekan peryaan, untuk menunjukan dukungan pada raja itu terus dicermati polisi yang mengawal. Mencegah apa-apa yang mungkin ingin mereka sampaikan pada wartawan dan wisatawan yang mengerumuni desa kerajaan itu, yang terletak sekitar 20 km di luar ibukota Swazi..

Di masa lalu, raja menggunakan acara ini untuk memilih istri baru, dan beberapa gadis masih berharap dapat tertangkap mata raja.

"Jika terpilih, saya akan mampu menjalani kehidupan yang lebih baik daripada apa yang saya miliki, punya banyak uang, hidup sebagai seorang ratu dan berjalan-jalan ke luar negeri," kata Fakazile Dlamini, 14, yang tiba dengan sebuah truk dari desanya yang berjarak 60 km jauhnya untuk menghadiri upacara.

Istri baru raja sering menerima BMW dan istana mereka sendiri, memicu kritik di negara di mana lebih dua-pertiga dari 1,4 juta penduduknya hidup dalam kemiskinan akut.

Kelompok perempuan dan lawan politik raja juga mengatakan "hobi" Mswati untuk sekaligus mengambil beberapa pengantin muda, layaknya sakitnya negara itu yang mempunyai tingkat tertinggi di dunia HIV / AIDS. Namun raja mengatakan poligami adalah bagian dari tradisi Swazi dan membantu merekatkan persatuan nasional.

Para perawan yang berkumpul dari seluruh pelosok negeri itu - beberapa menghadiri upacara itu setiap tahun sampai mereka menikah - memotong alang-alang dari dasar sungai, untuk disampaikan kepada ibu suri dengan cara bernyanyi dn menghentak-henatkkan kakinya sambil berjalan sejauh sekitar 1 km.

Di masa lalu, mereka ditampung oleh keluarga yang tinggal dekat dengan istana, tetapi sekarang mereka tinggal di tenda-tenda dan dijaga polisi.

Meskipun para perawan itu menolak untuk mengkritik Mswati (yang berpendidikan Inggris itu) dan yang tiba di acara mengenakan manik-manik dan kain singa, tidak semua orang mendukung gaya hidup poligami nya.

"Saya tidak ingin menjadi ratu, saya tidak ingin berbagi laki-laki saya. Poligami tidak boleh," kata Siphesihle Mdluli, 20, yang berharap untuk bisa melanjutkan studi kedokteran, sambil melambaikan renda-rendanya yang terbuat dari alang-alang.

sumber: beritasatu.com