Jumat, 12 Oktober 2012
Kisah Dewa-dewi Sapi Dan Juragan Sapudi
Ngetrain atau latihan sapi karapan di Desa Rosong, Kecamatan Nonggunong, Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Jumat (30/3). Selain sebagai pusat pelatihan bibit sapi karapan, sejak zaman Belanda, Pulau Sapudi juga dikenal sebagai pulau tempat pemurnian sapi khas Madura. Total populasi sapi di daerah yang merupakan pemasok utama sapi karapan di Pulau Madura itu saat ini mencapai 39.977 sapi.
fashingnet.com- Warga Madura menyebutnya Sapudi, diambil dari nama Adipoday, putra tertua Panembahan Balinge, penguasa pulau itu. Namun, masyarakat Jawa menyebut Sapudi akronim dari sapi ten pundi-pundi atau sapi di mana-mana.
Pulau yang terletak di timur Madura itu menjadi sentra pemasok sapi ras Madura terbesar di Nusantara. Meneguhkan kisah dewa dan dewi sapi yang akhirnya memunculkan para juragan baru dari Sapudi.
Di pulau yang hanya seluas 35 kilometer persegi itu, sapi memang ada di mana-mana. Kadang melintas di jalan-jalan desa, memenuhi lapangan karapan, hingga ikut antre tuannya menyeberang di pelabuhan.
Populasi ternak di Sapudi hampir tak pernah menyusut meski terus diperdagangkan ke sejumlah pulau. Jumlahnya berdasarkan data sensus ternak tahun 2011 sekitar 39.977 sapi atau mendekati jumlah warganya yang sebanyak 50.996 orang.
Konon, dewa dan dewi sapilah yang menjaga populasi ternak sapi di Sapudi. "Kedua-duanya adalah hewan kesayangan Panembahan Balinge, bangsawan yang pertama kali menempati Pulau Sapudi pada abad ke-10. Legenda itu masih dipercaya warga," kata Taha (76), sesepuh warga Sapudi, pada suatu sore, akhir Maret lalu.
Sapi-sapi milik Adipati itu istimewa: kokoh dan elok. Karena itulah, Balinge menjadikan sebagai hewan kesayangan. Dari sepasang sapi itu, sapi-sapi Sapudi berkembang biak. Keturunannya mewarisi kekokohan dan keelokan induknya. Mereka terus beranak pinak hingga akhirnya populasinya membesar dan menyebar di Pulau Sapudi.
Namun, di balik kisah dewa dan dewi sapi, ternak di Sapudi berkembang karena kearifan masyarakat sekitar. Di pulau ini, warga hampir tidak pernah melepas sapi induk untuk diperdagangkan. Panjito, peternak sapi, misalnya, tetap memelihara Putre Koneng, sapi betina besar yang ia rawat sejak kecil. Panjito yang juga penjaga situs Dewi Sapi di Sapudi seolah mengulang perilaku sang bangsawan Balinge yang sayang kepada ternaknya.
Di Sapudi, warga sangat jarang menyembelih sapi. Menurut Dede Iswahyudi, Ketua Paguyuban Peternak Sapi Dharma Maesa di Sapudi, profesi jagal bahkan nyaris tak ada.
Bagi peternak sapi, membawa sapi ke tukang jagal adalah pilihan terakhir. Warga Sapudi lebih memilih membeli rumput dengan harga Rp 50.000 dan puasa asal sapinya bisa makan.
Warga Sapudi juga melarang sapi dari ras lain masuk ke Sapudi. M Hasan, yang juga juragan sapi, mengatakan, sapi dari ras lain bisa mengubah keturunan asli dewi sapi. Kearifan lokal inilah yang turut menjaga kemurnian genetik sapi ras Madura, selain dari aturan pelarangan masuknya sapi ras lain yang tertera di staatsblad tahun 1934 hingga kini (baca buku Sapi Madura sebagai Ternak Kerja, Potong, Karapan dan Sonok, Gunawan MS, 1993).
Madura dalam Sapudi
Mayoritas warga Sapudi memang pencinta sapi, seperti suku Madura umumnya. Ditelisik dari sejarah, warga Sapudi punya keterkaitan erat dengan Kerajaan Sumenep. Putra sulung dari Panembahan Balinge, yakni Adipoday (Sapudi), adalah ayah dari Joko Tole, penguasa Sumenep (baca Babad Sumenep, Raden Werdisastra, 1914).
Tidak heran jika dalam hal memperlakukan sapi, warga Sapudi berperilaku sama dengan warga Madura umumnya. Mereka menganggap sapi sebagai barang yang sangat berharga dari sisi ekonomi dan sosial.
Eratnya hubungan warga Madura dengan ternak sapi, menurut budayawan dari Sumenep, Edhi Setyawan, tidak lepas dari budaya agraris di masyarakat Madura. Sapi menjadi terlalu berharga untuk disembelih karena memudahkan kerja petani, bernilai investasi tinggi, dan bisa menaikkan status pemilik (baca Garam, Kekerasan, dan Aduan Sapi, Huub De Jonge, 2012).
Dari sapi, roda ekonomi warga Sapudi turut berputar. Meski hanya pulau kecil, Sapudi menjadi pusat perdagangan sapi teramai di Madura. Sekitar 4.000 sapi bibit dikapalkan ke pulau lain per tahun. Pulau ini selalu disinggahi saudagar dari berbagai penjuru tempat untuk memburu sapi pilihan.
Gambaran ramainya pasar sapi terlihat setiap kali pasaran sapi pada Rabu. Hasan mengatakan, para saudagar akan datang berduyun-duyun menyeberangi Selat Madura untuk membeli sapi di Pasar Ternak Gayam.
Dari perputaran ekonomi itulah muncul para juragan sapi. Mereka menjadi juragan setelah berhasil menernakkan sapi. Mereka juga mendapatkan untung besar dari hasil mencetak sapi karapan yang berharga tinggi.
Sapi tidak hanya menjadi dagangan bagi warga Sapudi, tetapi juga menjadi kesenangan, gaya hidup, bahkan status sosial. Pamor dan status sosial warga bisa meroket karena sapi yang mereka miliki.
Di Sapudi, orang kaya dilihat dari rumahnya yang bagus dan jumlah ternak sapi. Mobil, baju bermerek, ataupun gadget canggih hanya nomor kesekian. Toh, di Sapudi, jalan kampung masih sempit dan belum mulus. Sinyal telepon ada, tetapi miskin sinyal pengiriman data.
Juragan yang punya ternak banyak pun akan dihormati warga karena mereka turut mengangkat perekonomian warga yang tak mampu dengan memberikan pekerjaan sebagai pemelihara sapi.
Dewa dan dewi sapi di Sapudi mungkin hanya mitos, tetapi legendanya telah memberi warna kehidupan yang kaya kepada warga Sapudi, Madura, bahkan Nusantara.
Sumber