Kamis, 12 Juli 2012

Hukum yang Tidak Adil Bukanlah Hukum

Tegangan filsafat hukum menemukan momentumnya ketika berhadapan dengan kasus pencurian sandal jepit yang dilakukan pelajar berusia 15 tahun di Palu, kasus pencurian dua biji cokelat yang dilakukan Mbok Minah, dan sejenisnya. Jika diperhatikan, keberatan publik bukan pada berapa lama mereka dihukum bahkan diputus bebas sekalipun, melainkan membawa kasus tersebut ke proses hukum saja, itu sudah persoalan.

Pertanyannya, mengapa kasus-kasus tindak pidana ringan seperti itu tidak dihentikan saja di tingkat kepolisian atau mengapa hakim melakukan temuan hukum untuk membatasi kasus serupa? Di sisi lain, ada fakta yang kontradiktif, seperti penumpukan perkara di pengadilan, minimnya biaya penanganan perkara di lembaga peradilan, dan pemidanaan yang tidak memiliki efek jera. Apa pun argumentasinya, selalu dibenturkan dengan argumentasi normatif bahwa peraturannya memang tertulis demikian dan unsur-unsurnya memang terpenuhi.

Jika kita terus berasyik-masyuk pada perdebatan di level politik penegakan hukum dan teknis hukum pidana, saya agak khawatir perdebatan itu justru tidak menghasilkan apa-apa, kecuali kebisingan. Ulasan singkat ini merupakan undangan untuk menarik perdebatan pada level yang lebih abstrak tetapi dengan ruang yang terbatas.

Saya mulai dari penegasan bahwa pada dasarnya manusia mendambakan keteraturan. Untuk itu, hukum berfungsi memberikan kepastian, misalnya kepastian bahwa ada kendaraan umum yang jadwalnya teratur atau kepastian bahwa harga barang tidak naik-turun secara sewenang-wenang. Dalam konteks ini, hukum harus jelas, tertib, terukur, ada sanksi jika dilanggar, dan ada otoritas yang menjalankan.

Untuk itu, kita berjumpa dengan asas-asas hukum yang mendasari fungsi kepastian hukum ini, antara lain semua orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law); tak seorang pun dikecualikan karena ketidaktahuan akan hukum (ignorantia legis neminem excusat); hukum atau undang-undang itu kejam tetapi memang begitulah bunyinya (lex dura sed tamen scripta).

Namun, jika hukum hanya berwajah kepastian, maka justru akan menyimplifikasi asumsi dasar manusia itu sendiri. Karena manusia juga adalah makhluk berbudi yang meyakini adanya kebenaran abstrak, seperti keadilan. Untuk itu, hukum juga dibentuk untuk
mewujudkan cita-cita ideal tersebut. Hukum yang adil adalah hukum yang didasarkan pada ''kebaikan'' dan ''kebenaran moral''. Bahkan ketika ada hukum yang justru bertentangan dengan keadilan, maka negara atau aparat boleh melanggarnya (epikeia).
Di sini kita juga akan berjumpa dengan asas hukum yang mendasari fungsi keadilan hukum. Salah satunya hukum yang tidak adil bukanlah hukum (lex iniusta non est lex). Apa itu keadilan, tidak bisa dirumuskan secara detail dan kalau dipaksakan justru akan mereduksi maknanya. Tetapi, dengan commonsense sederhana, kadang kita bisa merasakan apakah ini adil atau tidak.

Contoh, jika orang yang terlibat pembunuhan Munir diputus bebas sedangkan pencuri dua biji cokelat dihukum tiga bulan, maka rasa keadilan kita sontak terusik.

Pertanyaan kritisnya, bagaimana hukum diletakkan dalam berbagai tegangan antropologi filosofis manusia tersebut? Seperti kita ketahui, tegangan ini akan selalu ada, bukan karena kekuatan argumentasinya, melainkan karena masing-masing bereksistensi pada ruang dan waktu yang sama. Pada satu diri manusia bergelantungan kodrat-kodrat yang beragam, seperti sebagai makhluk bebas, makhluk religius, ekonomi, keteraturan, dan makhluk politik. Keguncangan akan terjadi ketika hukum dominan pada watak tertentu. Untuk menghindari guncangan tersebut, yang didambakan adalah harmoni antara hukum yang ideal dan berkepastian.

Dalam konteks kasus-kasus pidana ringan, kita diingatkan oleh restorative justice. Gerakan yang baru muncul 20 tahun terakhir ini bisa disebut sebagai antitesis dari sistem peradilan pidana yang ada. Dia mengakui bahwa tindak pidana itu merugikan korban, bahkan masyarakat. Namun tindak pidana bukan sekadar pelanggaran terhadap undang-undang, melainkan lebih komprehensif.

Sehingga penyelesaiannya bukan hanya antara negara dan pelaku, melainkan harus bersama korban, keluarga, dan masyarakat. Justru negara hanya berperan sebagai fasilitator untuk merumuskan bersama bentuk pertanggungjawaban pelaku, bentuk rehabilitasi bagi korban, dan bagaimana mencegah agar tindakan tersebut tidak terulang. Kata kuncinya adalah kesepakatan dan komitmen bersama. Juga ukuran keberhasilannya bukan pada berapa lama hukuman bagi pelaku, melainkan sejauh mana tindak pidana bisa dicegah.

Meski di Eropa pernah dibahas dalam konferensi pada 2002, tidak mudah menerapkan konsep ini di Indonesia. Alasan normatifnya, karena belum menjadi arus utama dalam criminal justice system, baru beberapa undang-undang sektoral yang mengadopsinya. Intinya, apa pun idenya, asal dimuat dalam undang-undang, bisa diterapkan. Alasan lainnya, menurut teman saya yang menjadi hakim sejak tahun 2000, belum pernah mendapat pelatihan tentang restorative justice.

Sumber

Tahukah Kamu?
Titik merah pada 7-Up logo berasal dari penemunya yang bermata merah. Dia seorang albino.
Itulah berita untuk 'Hukum yang Tidak Adil Bukanlah Hukum', semoga bermanfaat dan bisa menjadi inspirasi buat kamu.